Pendar ilmu pengetahuan di dunia Islam menyebar merata. Sebab, perkembangan tradisikeilmuan tak hanya berkutat pada wilayah tertentu, seperti Baghdad di Irak atau Kordoba di Spanyol, pada masanya dikenal sebagai lumbung ilmu. Tradisi ilmu pun menembus wilayah Maghrib, yang mencakup Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Matematika ( menjadi salah satu kajian yang berkembang pesat di sana, terutama dalam kurun waktu abad ke-9 hingga abad ke-11. Sejumlah pakar matematika bersinar dan memberikan kontribusi besar.
Ifriqiya, ibukota Kairouan, Tunisia, menjadi cikal bakal perkembangan tradisi ilmiah, termasuk kajian matematika di Maghrib. Para pakar matematika yang tumbuh pada masa itu seakan menjadi peletak dasar bagi perkembangan ilmu tersebut pada kemudian hari. Dua tokoh di antaranya adalah Yahya al-Kharraz dan muridnya, Yahya al-Ka-nuni, yang hidup antara tahun 828 hingga 901 Masehi. Sang murid, Yahya al-Ka-nuni, menulis buku berjudul Maghribian Book ofHisba yang berisi uraian tentang transaksi perdagangan di pasar. Pakar lainnya adalah Shuqrun ibnu Ali.
Ahmed Djebbar, seorang profesor di University of Sciences and Technologies Lille I, Lille, Prancis, dalam tulisannya, Mathematics in the Medieval Maghrib General Survey on Mathematical Activities in North Africa mengatakan, Shuqrun memiliki kecakapan khususnya dalam perhitungan waris. Shuqrun menguraikan secara perinci perhitungan waris dalam sebuah buku. Bahkan, ia dikenal sebagai orang pertama di wilayah Maghrib yang melahirkan karya semacam itu. Seorang cendekiawanbernama Ibnu Khayr mengungkapkan, buku karya Shuqrun menjadi bahan ajar matematika.
Bahkan, ujar Ibnu Khayr, karya Shuqrun masih digunakan hingga abad ke-12 dalam berbagai kajian matematika. Pada masa selanjutnya, matematika kian mengalami perkembangan menggembirakan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya karya dan pakar matematika. Sosok lainnya, Abu Sani al-Qayrawani, hadir pada abad ke-9 dan menambah deretan nama pakar matematika. Orang tuanya berasal dari Baghdad, Irak. Ia menorehkan prestasi gemilang karena menjadi cendekiawan pertama yang masyhur dengan karya-karya gemi-langnya.
Salah satu karya besar yang ia hasilkan adalah Kitab fi al-hisab al-Hindi atau Book on Indian Calculation. Buku ini menguraikan tradisi aritmatika Arab yang memiliki akar dari tradisi matematika India, yang dimulai pada akhir abad ke-8 atau awal abad ke-9.
Pada prosesnya, perkembangan kajian matematika tak sepenuhnya dipicu tradisi keilmuan. Namun, perdebatan teologis pun ikut berpengaruh, terutama saat pemerintahan Dinasti Aghlabid antara 800 hingga 910 Masehi. Perdebatan teologis ini mengundang kaum intelektual membanjiri Ifriqiya, Kairouan.
Di antara kaum intelektual tersebut, terdapat Abu Sahal. Ia berada dalam jajaran sejumlah pakar matematika, khususnya yang piawai dalam aritmatika dan geometri. Kemampuan mereka dibutuhkan untuk memecahkan serangkaian masalah yang terkait dengan pengukuran tanah atau perhitungan waris.
Pemerintahan berkuasa saat itu, yang berasal dari Dinasti Aghlabid, juga memberikan dukungan penuh pada bidang keilmuan. Mereka membiayai penyalinan, pembelian, dan penerjemahan buku; menambah jumlah sarjana; serta membangun lebih banyak lembaga pendidikan.
Mereka pun menjalin hubungan erat dengan kekhalifahan di Baghdad. Bahkan, mereka mencoba mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya yang juga berkembang pesat di Baghdad. Maka, pemerintahan Dinasti Aghlabid saat dipimpin Ibrahim II (875-902) pun membangun Bayt al-Hikmah.
Nama tersebut sama dengan nama lembaga keilmuan di Baghdad yang dibentuk khalifah dari Dinasti Abbasiyah, Harun al-Rasyid, yang berkuasa pada 786 hingga 809. Bayt al-Hikmah yang ada di Maghrib menarik minat pakar matematika, astronom, serta astrolog, seperti at-Talla dan Uthman as-
Sayqal.
Dukungan pemerintah pada pengembangan tradisi keilmuan yang dilakukan pada masa Aghlabid juga berlanjut saat kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Hal ini terlihat pada dua dekade pertama masa kekuasaan Khalifah al-Muizz yang berkuasa pada 953 hingga 975 Masehi.
Memasuki abad kesepuluh, kata Ahmed Djebbar, tak banyak dokumen yang ditemukan, bahkan tak banyak menyingkap bagaimana kegiatan keilmuan berjalan. Para penulis biografi hanya mengungkapkan segelintir figur yang diketahui bergelut dengan matematika dan mereka yang tertarik dengan bidang tersebut.
Djebbar menyebutkan sejumlah nama, yaitu al-Utaq al-Ifriqi yang meninggal pada 955 Masehi, Yaqub ibnu Killis yang meninggal pada 990 Masehi, dan cende- kiawan lainnya al-Huwari. Ada lebih banyak informasi mengenai kajian matematika pada abad ke-11.
Pakar matematika di Maghrib pada abad tersebut adalah Ibnu Abi Rijal. Ia tak hanya menguasai matematika, tetapi juga astronomi. Ia pun menulis beberapa karya mengenai dua bidang yang dikuasainya. Di sisi lain, ia tertarik pula mempelajari astrologi.
Bahkan, ketenaran Abi Rijal menembus Eropa. Ia mulai dikenal di sana sejak abad ke-12 melalui bukunya yang berjudul al-Barifi Ahkam an-Nujum atau The Briliant Book on Judgements of the Stars, yang diterjemahkan oleh Constantine the African. Pakar matemati- ka ternama lainnya adalah Abu Salt.
Banyak pakar matematika yang memiliki nama lain, tetapi kurang dikenal. Mereka adalah Abd al-Munim dan Ibnu Atiya al-Katib. Mereka menguasai geometri dan aritmatika. Tak diketahui, apakah mereka membuat karya yang menjadi rujukan dan sejauh mana peran mereka dalam pengembangan matematika. ed ferry kisihandi